Cari Blog Ini

Minggu, 06 Maret 2011

FORMAT PENDIDIKAN IDEAL UNTUK GENERASI INDONESIA MASA DEPAN


I.                    PENDAHULUAN

            Pendidikan ideal untuk generasi masa depan Indonesia harus berpijak pada pengembangan keutuhan seseorang peserta didik agar muncul self-realisationnya dengan baik. Sebagai sebuah proses pembangunan kualitas kemanusiaan, pencerdasan sejati, dan pembentukan manusia seutuhnya, pendidikan harus diarahkan untuk meningkatkan martabat manusia. Martabat tertinggi manusia yang mungkin dicapai melalui pendidikan adalah taqwa. Oleh karena itu tujuan pendidikan dalam islam adalah terbentuknya individu muttaqin. Tanpa pendidikan yang integrative yang mencakup seluruh dimensi manusia mustahil tujuan terbentuknya individu  muttaqin tercapai. Dengan demikian, pendidikan seharunya mengajarkan kemampuan berfikir, bukan semata-mata mengisi pikiran, membentuk manusia terampil berfikir saintifik dan filosofis (kritis), mengembangkan kecerdasan religious dan spiritualnya, dan secara terus menerus melakukan pencerahan kalbunya sehingga ia sebagai manusia mampu merealisasikan amanah ibadah dan amanah risalah yang menjadi tanggungjawab kemanusiaannya. Dengan demikian ia akan menjadi orang yang terbaik, yang manfaat kebaikannya dapat dirasakan oleh manusia lain sebanyak-banyaknya. “sebaik baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” (HR al-Qadha’I dari Jabir).

II.                  PENGARUH NEGATIF MASYARAKAT TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN
Dalam perkembangan kehidupan manusia yang pada masa sekarang ini sudah memasuki era millennium, era teknologi, dan era globalisasi, maka akan membawa dampak tersendiri bagi perkembangan manusia dan masyarakat. Ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan terhadap dunia pendidikan pun demikian kuat. Gaya hedonism yang sudah cukup mengurat dan mengakar dalam kehidupan masyarakat menambah sulitnya pembentukan pribadi yang matang. Teknologi yang sudah semarak dengan dampak baik positif,  juga membawa efek negative yang tidak kecil. Gaya hidup mall yang juga membawa ekses seks  bebas, sehingga memuncukkan aborsi, narkoba yang semakin merebak, bahkan sudah menjadi alternative lapangan pekerjaan bagi kalangan tertentu, dunia gemerlap yang sudah  demikian transparan, kesemuanya memunculkan permisifisme dan membawa dampak luar biasa bagi peserta didik. Kondisi yang sudah sedemikian rupa terkadang dibarengi dengan mental dan akhlak yang kurang baik dari sejumlah pendidik yang nota bene adalah menjadi panutan peserta didik yang pada akhirnya mulai pudarlah siapa yang menjadi panutan dan mana yang harus dicontoh. Dr Georgi Lozanov (1897) menyatakan bahwa suatu tindak tanduk yang diperlihatkan oleh gurunya kepada para siswa dalam proses belajarnya, merupakan tindakan yang paling berpengaruh, sangat ampuh serta efektif dalam pembentukan kepribadian mereka. Dalam sebuah penelitian terlihat jelas bahwa ternyata iklan dan gaya artis memberikan pengaruh signifikan terhadap perkembangan perilaku anak tinimbang sekolah atau guru.  Dengan kondisi seperti sekarang ini maka cukup sulit untuk melihat bagaimana keberhasilan pendidikan sesungguhnya. Apakah pendidikan yang kemudian memunculkan peradaban manusia atau justru pendidikan hanya menjadi peredam dari munculnya dampak negative perkembangan peradaban manusia.

III.                PENDIDIKAN IDEAL UNTUK GENERASI INDONESIA MASA DEPAN

Pendidikan adalah pembentukan manusia seutuhnya agar menjadi orang bertaqwa, maka harus pula ditekankan aktivitas mengasuh, melatih, mengarahkan, membina, dan mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya, termasuk potensi spiritualnya. Dalam bahasa Arab, kata rabba yang berarti pendidikan, memiliki banyak arti. Misalnya merawat, mendidik, memimpin, mengumpulkan, menjaga, memperbaiki, dan mengembangkan.. Tentu saja proses pembentukan harus berakar kepada teori, filsafat, dan ideology serta nilai-nilai intrinsic, terutama nilai keadilan dan keseimbangan yang merupakan dasar penciptaan manusia itu sendiri. Sedangkan keutuhan manusia pada hakikatnya ditentukan oleh sejauhmana ia mampu melengkapi dirinya dengan dimensi religious, budaya, dan ilmu pengetahuan. Melalui proses pendidikan yang  transformative dan integrative, setiap individu diharapkan dapat terbentuk kepribadiannya dan mampu mencapai puncak prestasinya sebagai insan kamil (QS 49:13). Sebagaimana pula dinyatakan oleh Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence (Sidi 2001) yang menyatakan bahwa IQ seseorang hanya menyumbang 20% dari kesuksesan seseorang, sedangkan 80 % sisanya ditentukan oleh faktor lain (kecedasan intelektual dan kecerdasan emosional). Pendidikan ideal adalah pendidikan yang mampu menyatukan dan menyeimbangkan domain-domain tersebut sehingga lahirlah masyarakat peradaban (civilize culture society) atau meminjam istilah Inkeles masyarakat modern (modern society) atau lebih populernya biasa kita sebut civil society.
Harus diakui bahwa proses pendidikan sangat ditopang oleh kejelasan visi tentang individu dan masyarakat yang ideal, tentang hakikat kebenaran, keadilan, dan kemanfaatan tentang tujuan dan misi manusia diciptakan, tentang realitas Tuhan, alam, manusia dan kehidupan. Kejelasan visi tersebut dapat memberi dasar bagi transformasi pengetahuan dan pembentukan perilaku manusia dalam pendidikan. Sedangkan keidealan individu atau masyarakat selalu diukur dengan konsistensinya dalam merealisasikan nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan ideology yang telah menjadi keyakinan bersama dalam seluruh aspek kehidupan dan kemanfaatan keberadaannya bagi masyarakat yang lebih luas.
Proses pendidikan yang benar, tepat, transformative, efektif dan integrative akan melahirkan individu-individu yang berkepribadian tutuh, kreatif, dan mampu berperan aktif dalam memproduksi kemaslahatan yang dirasakan oleh manusia sebanyak-banyaknya. Atau dengan kata lain pendidikan merupakan salah satu agen dalam proses sosialisasi yang dialami manusia. Sosialisasi merupakan proses seumur hidup (life-long process) dan pendidikan memfasilitasi tranformasi ketrampilan dan nilai-nilai luhur yang dibutuhkan seseorang dalam kehidupannya (John Dewey 1958:90). Worsley (1970) menuturkan, pada dasarnya pendidikan tidak dapat dicabut dari lanskap sosial di mana pendidikan merekrut aktor-aktor sosial dalam segala segi kehidupan, sehingga pendidikan dapat disebut sebagai “a mini society”. Dalam masyarakat mini inilah daya-daya belajar dikembangkan dengan berbasis pada paradigma learning to how to learn, learning how to do, learning how to be, dan learning how to live together. Dalam islam, kualitas keislaman seorang muslim tidak hanya diukur oleh kesalehan pribadinya, tetapi juga oleh sejauhmana pengaruh kesalehannya tersebut kepada orang lain. Seorang muslim tidak dituntut hanya saleh secara pribadi, tetapi juga produktif dalam artian amal-amal baik yang dilakukannya melahirkan kebaikan yang dapat dinikmati orang lain sebanyak-banyaknya serta dapat menekan kejahatan dari orang lain serendah-rendahnya sehingga terbetuklah sebuah masyarakat yang saleh. Tercapainya cita-cita kolektif orang-orang beriman menuntut suasana kemasayarakatan yang saleh pula. Selanjutnya setiap individu yang terdidik pada akhirnya akan mengantarkan suatu bangsa menjadi bangsa yang beradab, maju, dan sejahtera secara lahir dan batin. Sebaliknya, pendidikan yang salah, tidak tepat dan carut marut hanya akan membiarkan individu dan masyarakat yang bodoh, miskin, dan amoral.
            Dasar filosofi penyelenggaraan pendidikan dalam islam adalah menyiapkan generasi yang memahami eksistensi dan posisinya sebagai hamba Allah di muka bumi, menyadari arti kemuliaan dan martabat kemanusiaan di hadapan makhluk lainnya, dan mampu merealisasikan tujuan risalah kemanusiaannya secara padu. Sebab melalui proses pendidikanlah manusia dapat menjalankan fungsinya yang sejati (QS. 51:56) dan merealisaikan misi otentik penciptaanya (QS. 2:31). Hal ini jelas menuntut adanya system pendidikan yang mampu memadukan secara harmonis dan seimbang antara apa yang menjadi prinsip-prinsip yang tertuang dalam kitab-Nya yang suci sebagai pedoman hidup (Manhaj Al Hayah) dengan seluruh ayat-ayat-Nya yang bertebaran di jagad raya (Sunan Al Kaun) sebagai fasilitas hidup (Wasa’ilul hayah). Dengan perpaduan yang harmonis dan seimbang, maka pendidikan telah membebaskan dirinya dari keterjebakan arus “sekulerisasi kurikulum”, ataupun kejumudan dalam arus “sakralisasi kurikulum”. Dengan demikian maka jelaslah bahwa pusat perhatian pendidikan dalam persfektif Islam adalah bagaimana membangun generasi yang memiliki dasar pengetahuan dan keterampilan yang dijiwai dengan nilai-nilai Qur’aniyah, sehingga penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi pada gilirannya merupakan refleksi dari tugas kemanusiaan sebagai khalifah (QS. 2:30) yang semuanya diorientasikan pada pengabdian kepada Allah (QS. 51:56)
            Format pendidikan ideal masa depan harus memperhatikan konsekuensi logis dari perkembangan era global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan, dan peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat, serta harapan tentang masyarakat dunia masa depan dengan selalu bernaung pada falsafah pendidikan sebagaimana di atas. Sebab falsafah pendidikan akan menjadi pijakan logis dan rasional tentang tujuan pendidikan, kurikulum, metode pengajaran, dan model pendidikan itu sendiri. Berkaitan dengan persoalan kurikulum, Hilda Taba (1962) dalam bukunya “ Curriculum Development: Theory and Practice” berpendapat bahwa pengembangan kurikulum hendaknya bersifat rasional dan ilmiah yang penentuannya harus beralaskan elemen-elemen valid berbasis realita yang diantaranya berasal dari tradisi dan budaya, tuntutan sosial, dan kebiasaan masyarakat. Oleh karena itu, kurikulum ilmiah harus merujuk pada analisis masyarakat dan budaya, telaah mengenai peserta didik dan proses belajar, serta ciri khusus bangunan epistemology ilmu pengetahuan tertentu agar dapat ditentukan tujuan institusional dan ciri kurikulumnya. Kurikulum berbasis kompetensi hendaknya mampu menyodorkan fakta-fakta mengenai problem kehidupan social (lazim disebut “problem posing”). Hal ini bermakna bahwa subjek didik diajak untuk memasuki arena “problem solving” dimana siswa mampu berimijinasi untuk memecahkan masalah yang dia temukan. Lebih penting dari itu adalah penguatan nilai-nilai budaya dan agama agar subjek didik tidak terjerumus dalam budaya hedonis, meterialistik dan serba mengagungkan barat sebagai sistem hidup dan berperilaku. Dalam aplikasinya ia harus selalu memperhatikan asas-asas psikologi, psikometri, dan paedagogi. Semua aktivitas belajar selayaknya berlandaskan kepada pencapaian tugas-tugas perkembangan dan prinsip-prinsip belajar yang melipti hal-hal yang terkait dengan kerja kognitif, afektif, keunikan individu, motivasi, bakat, dan kecenderungan, serta tata hubngan antar individu. Semua itu kemudian akan mempengaruhi pola dan model instruksional, pengelolaan kelas, penilaian hasil belajar, pengelolaan media belajar dan sebagainya.

           
IV.                Mengapa Boarding School ?
Numella Caine dan Geoferry Caine (1973) dalam bukunya yang berjudul "Making Connection by Communication": Teaching and The Human Brain, menyatakan bahwa salah satu fungsi sekolah seharusnya mempersiapkan para siswa menghadapi dunia nyata. Kedekatan antara siswa dan guru dalam sekolah berasrama yang tercipta oleh intensitas pertemuan yang memadai akan mempermudah proses transfer ilmu dari pendidik ke peserta didik. Kedekatan akan mengubah posisi guru di mata para murid. Dari sosok ditakuti atau disegani ke sosok yang ingin diteladani. Dr Georgi Lozanov (1897) menyatakan bahwa suatu tindak tanduk yang diperlihatkan oleh gurunya kepada para siswa dalam proses belajarnya, merupakan tindakan yang paling berpengaruh, sangat ampuh serta efektif dalam pembentukan kepribadian mereka. Keteladanan secara personality dapat membangun kepercayaan diri untuk dapat berkomunikasi secara internal personality. Kemudian akan tercipta tanpa si anak merasa asing dengan kemampuan yang mereka miliki dalam menyampaikan pesan atau ide-ide pemikirannya kepada orang lain. Apakah itu dalam bentuk verbal maupun nonverbal, seperti menentukan sikap dan tingkah laku keseharian mereka. Keteladanan, ketulusan, kongkruensi, dan kesiapsiagaan guru mereka sehari semalam akan memberdayakan dan mengilhami siswa untuk membebaskan potensi mereka sebagai pelajar. Hal itu akan mempercepat pertumbuhan kecerdasan emosionalnya. Menurut Lazanov  jika metode pembelajarannya diberdayakan secara maksimal, maka kesuksesan para pelajar akan lebih mudah untuk direalisasikan. Pencapaian itu bisa dilakukan kalau senantiasa terjadi interaksi yang merangsang pertumbuhan sikap mental. Namun untuk itu dibutuhkan seorang quantum teacher yang memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik. Digabungkan dengan rancangan pengajaran yang efektif, harmonisasi keduanya akan memberikan pengalaman belajar yang dinamis bagi siswa.

V.         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar